Home Polhukam FH UIA Selenggarakan Webinar Arah Politik Ketatanegaraan

FH UIA Selenggarakan Webinar Arah Politik Ketatanegaraan

Pasca Putusan Perselisihan Hasil Pilpres oleh MK

105
0
SHARE
FH UIA Selenggarakan Webinar Arah Politik Ketatanegaraan

Keterangan Gambar : Suasana webinar FH UIA yang cukup menarik, diikuti duaratusn peserta dari seluruh Tanah Air . (screenshot)

Pondok Gede, Bekasi pjminews.com Mahkamah Konstitusi (MK) sebaiknya tidak lagi mengadili sengketa Pilpres karena banyak celah hukum yang  dapat disiasati untuk memenangkan pihak-pihak tertentu. MK sudah keberatan beban dan seakan  menyimpan bom waktu yang bisa meledak jika tidak diantisipasi sejak sekarang. Demikian antara lain benang merah yang dapat dirangkum dalam Webinar yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas  Islam As Syafiiyah (FH UIA), Sabtu 27/4.

Webinar  bertema “Arah Politik Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Pasca Putusan Perselisihan Hasil Pilpres oleh Mahkamah Konstitusi,” menghadirkan pakar hukum terkemuka, diantaranya,  Dosen Hukum Kepemiluan Universitas Indonesia (UI)) Titi Anggraini S.H., M.H.,  anggota Kuasa Hukum Paslon Anies Baswedan- Muhaimin Iskandar DR. Heru Widodo S.H.,M. Hum. Ahi Hukum Paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka Prof. DR. Andi M. Asrun S.H., M.H.

Kegiatan dimoderatori oleh  Dosen Fakultas Hukum UIA Slamet Riyanto S.H., M.H., serta dipandu oleh Dosen UIA M. Fahruddin S.H.

 “Bukan saja Pilpres tetapi juga Pileg dan Pilkada sebaiknya tidak lagi dilakukan oleh MK tetapi oleh pengadilan khusus yang tersendiri,” tutur Titi Anggraini, yang juga  direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini.

Dulu, lanjut Titi,  pihaknya pernah mengajukan usulan agar sengketa Pilpres ini tidak ditangani oleh MK tetapi sampai sekarang usulan itu belum direspon.  

 “Selain beban yang cukup berat, ada masalah krusial  dan fundamental di MK yang membuat lembaga itu kehilangan wibawa dan integritas dalam beberapa tahun terakhir. Diantara masalah rekrutmen yang tidak fair,” tambahnya.

Menurut Titi, rekrutmen untuk  menjadi hakim MK sebenarnya sangat selektif, rigid dan sulit. Benar-benar dari dipilih dari tokoh  yang berprestasi. Namun diujungnya yang menentukan adalah para pihak yang mempunyai kepentingan juga (presiden dan partai mayoritas di DPR). Maka mau tidak mau hakim terpilih merasa berhutang budi kepada pihak yang memilihnya. Ini dapat dibaca dari putusan MK kemaren yang tidaki bulat. Di mana ada tiga hakim disenting opinion.    

Jadi, menurut Titi, pasca putusan sengketa Pilpres kemarin,  MK tidak sedang-baik-baik saja. Ada bom waktu yang suatu saat bisa meledak kalau tidak diantisipasi dari sekarang. Apalagi dalam waktu dekat ini akan menghadapi Pilkada serentak. Beban hakim MK akan semakin berat.

Sementara itu Dosen Fakultas Hukum UIA Slamet Riyanto S.H., M.H., mengatakan pasca putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pilpres 2024 dapat dijadikan  momen untuk memperbaiki dan  menentukan arah politik hukum ketatanegaraan Indonesia di masa yang akan datang.

Menurutnya, ada beberapa catatan yang perlu digaris bawahi dalam putusan MK tersebut. Diantaranya MK bukan hanya  “Mahkamah Kalkulator” seperti yang disangkakan selama ini. Yang hanya boleh mengadili angka-angka dugaan kecurangan yang diajukan para penggugat. Tetapi ternayata MK juga dapat mengadili proses  dan etik  mengapa kecurangan itu sampai terjadi, yang oleh para penggugat sebagai TSM (Terstruktur Sistematis dan Masif).

“Ini kan termasuk terobosan baru,” tuturnya.

Sedangkan Prof. DR. Andi M. Asrun S.H., M.H. menyorot amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang dilakukan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarno Puteri.

Menurutnya  Megawati tidak berhak mengajukan amicus curiea karena dia berada pada salah satu pihak yang berperkara.*** (ismail/pjmi)

Video Terkait: